Sewaktu masih duduk di bangku SMA, Peter
Firmansyah, pria kelahiran Sumedang 4 Februari 1984, terbiasa
mengubek-ubek tumpukan baju di pedagang kaki lima. Kini, ia adalah pemilik
usaha yang memproduksi busana yang sudah diekspor ke beberapa negara.
Tak butuh waktu relatif lama. Semua itu
mampu dicapai Peter hanya dalam waktu 1,5 tahun sejak ia membuka usahanya pada
November 2008. Kini, jins, kaus, dan topi yang menggunakan merek
Petersaysdenim, bahkan, dikenakan para personel kelompok musik di luar negeri.
Sejumlah kelompok musik itu seperti Of Mice
& Man, We Shot The Moon, dan Before Their Eyes, dari Amerika Serikat, I am
Committing A Sin, dan Silverstein dari Kanada, serta Not Called Jinx dari
Jerman sudah mengenal produksi Peter. Para personel kelompok musik itu
bertubi-tubi menyampaikan pujiannya dalam situs Petersaysdenim.
Pada situs-situs internet kelompok musik
itu, label Petersaysdenim juga tercantum sebagai sponsor. Petersaysdenim pun
bersanding dengan merek-merek kelas dunia yang menjadi sponsor, seperti Gibson,
Fender, Peavey, dan Macbeth.
Peter memasang harga jins mulai Rp 385.000,
topi mulai Rp 200.000, tas mulai Rp 235.000, dan kaus mulai Rp 200.000. Hasrat
Peter terhadap busana bermutu tumbuh saat ia masih SMA. Peter yang lalu menjadi
pegawai toko pada tahun 2003 kenal dengan banyak konsumennya dari kalangan
berada dan sering kumpul-kumpul. Ia kerap melihat teman-temannya mengenakan
busana mahal.
”Saya hanya bisa menahan
keinginan punya baju bagus. Mereka juga sering ke kelab, mabuk, dan ngebut
pakai mobil, tapi saya tidak ikutan. Lagi pula, duit dari mana,” ujarnya.
Peter melihat, mereka tampak bangga, bahkan
sombong dengan baju, celana, dan sepatu yang mereka dipakai. Harga celana jins
saja, misalnya, bisa Rp 3 juta. ”Perasaan bangga seperti itulah yang
ingin saya munculkan kalau konsumen mengenakan busana produk saya,” ujarnya.
Peter kecil akrab dengan kemiskinan.
Sewaktu masih kanak-kanak, perusahaan tempat ayahnya bekerja bangkrut sehingga
ayahnya harus bekerja serabutan. Peter pun mengalami masa suram. Orangtuanya
harus berutang untuk membeli makanan.
Pernah mereka tak mampu membeli beras
sehingga keluarga Peter hanya bergantung pada belas kasihan kerabatnya. ”Waktu
itu kondisi ekonomi keluarga sangat sulit. Saya masih duduk di bangku SMP Al
Ma’soem, Kabupaten Bandung,” kata Peter.
Sewaktu masih SMA, Peter terbiasa pergi ke
kawasan perdagangan pakaian di Cibadak, yang oleh warga Bandung di pelesetkan
sebagai Cimol alias Cibadak Mall, Bandung. Di kawasan itu dia berupaya
mendapatkan produk bermerek, tetapi murah. Cimol saat ini sudah tidak ada lagi.
Dulu terkenal sebagai tempat menjajakan busana yang dijual dalam tumpukan.
Selepas SMA, ia melanjutkan pendidikan ke
Universitas Widyatama, Bandung. Namun, biaya masuk perguruan tinggi dirasakan
sangat berat, hingga Rp 5 juta. Uang itu pemberian kakeknya sebelum wafat. Tetapi,
tak sampai sebulan Peter memutuskan keluar karena kekurangan biaya. Ia
berselisih dengan orangtuanya—perselisihan yang sempat disesali Peter—karena
sudah menghabiskan biaya besar.
Ia benar-benar memulai usahanya dari nol.
Pendapatan selama menjadi pegawai toko disisihkan untuk mengumpulkan modal. Di
sela-sela pekerjaannya, ia juga mengerjakan pesanan membuat busana. Dalam
sebulan, Peter rata-rata membuat 100 potong jaket, sweter, atau kaus.
Keuntungan yang diperoleh antara Rp 10.000- Rp 20.000 per potong.
”Gaji saya hanya
sekitar Rp 1 juta per bulan, tetapi hasil dari pekerjaan sampingan bisa
mencapai Rp 2 juta, he-he-he…,” kata Peter.
Penghasilan sampingan itu ia dapatkan selama dua tahun waktu menjadi pegawai
toko hingga 2005.
Pengalaman pahit juga pernah dialami Peter.
Pada tahun 2008, misalnya, ia pernah ditipu temannya sendiri yang menyanggupi
mengerjakan pesanan senilai Rp 14 juta. Pesanannya tak dikerjakan, sementara
uang muka Rp 7 juta dibawa kabur. Pada 2007, Peter juga mengerjakan pesanan jins
senilai Rp 30 juta, tetapi pemesan menolak membayar dengan alasan jins itu tak
sesuai keinginannya.
”Akhirnya saya
terpaksa nombok. Jins dijual murah daripada tidak jadi apa-apa. Tetapi, saya
berusaha untuk tidak patah semangat,” ujarnya.
Belajar menjahit, memotong, dan membuat
desain juga dilakukan sendiri. Sewaktu masih sekolah di SMA Negeri 1
Cicalengka, Kabupaten Bandung, Peter juga sempat belajar menyablon. Ia
berprinsip, siapa pun yang tahu cara membuat pakaian bisa dijadikan guru.
”Saya banyak belajar
sejak lima tahun lalu saat sering keliling ke toko, pabrik, atau penjahit,”katanya. Ia juga banyak bertanya cara mengirim produk ke luar
negeri. Proses ekspor dipelajari sendiri dengan bertanya ke agen-agen
pengiriman paket.
Sejak 2007, Peter sudah sanggup membiayai
pendidikan tiga adiknya. Seorang di antaranya sudah lulus dari perguruan tinggi
dan bekerja. Peter bertekad mendorong dua adiknya yang lain untuk menyelesaikan
pendidikan jenjang sarjana. Ia, bahkan, bisa membelikan mobil untuk orangtuanya
dan merenovasi rumah mereka di Jalan Padasuka, Bandung.
”Kerja keras dan doa
orangtua, kedua faktor itulah yang mendorong saya bisa sukses. Saya memang
ingin membuat senang orangtua,” katanya. Jika dananya
sudah mencukupi, ia ingin orangtuanya juga bisa menunaikan ibadah haji.
Meski kuliahnya tak rampung, Peter kini
sering mengisi seminar-seminar di kampus. Ia ingin memberikan semangat kepada
mereka yang berniat membuka usaha. ”Mau anak kuli, buruh, atau petani,
kalau punya keinginan dan bekerja keras, pasti ada jalan seperti saya
menjalankan usaha ini,” ujarnya.
Merek Petersaysdenim berasal dari Peter
Says Sorry, nama kelompok musik. Posisi Peter dalam kelompok musik itu sebagai
vokalis. ”Saya sebenarnya bingung mencari nama. Ya, sudah karena saya
menjual produk denim, nama mereknya jadi Petersaysdenim,” ujarnya
tertawa.
Peter memanfaatkan fungsi jejaring sosial
di internet, seperti Facebook, Twitter, dan surat elektronik untuk promosi dan
berkomunikasi dengan pengguna Petersaysdenim. ”Juli nanti saya rencana
mau ke Kanada untuk bisnis. Teman-teman musisi di sana mau ketemu,” katanya.
Akan tetapi, ajakan bertemu itu baru
dipenuhi jika urusan bisnis selesai. Ajakan itu juga bukan main-main karena
Peter diperbolehkan ikut berkeliling tur dengan bus khusus mereka. Personel
kelompok musik lainnya menuturkan, jika sempat berkunjung ke Indonesia ia
sangat ingin bertemu Peter. Ia melebarkan sayap bisnis untuk memperlihatkan
eksistensi Petersaysdenim terhadap konsumen asing.
”Pokoknya, saya mau ’menjajah’
negara-negara lain. Saya ingin tunjukkan bahwa Indonesia, khususnya Bandung,
punya produk berkualitas,” ujarnya.
Sumber: Kompas
http://www.petersaysdenim.com/
https://indonesiaproud.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar